JANGAN GADAIKAN BALI

6 min read

Deviation Actions

photopocket's avatar
By
Published:
4.8K Views
JANGAN GADAIKAN BALI
Oleh I.B. Arya Lawa Manuaba

Mandalakawi Virtual Ashram, santikatmaka ring asing kawya
Griya Kanginan Baler Pasar Tegal Darmasaba
Abiansemal, Badung, Bali 80352
mandalakawi.googlepages.com
mandalakawi@gmail.com


Ibu, aku tak mau bicara tentang peradaban
Sebab peradaban masih jauh untuk kita bicarakan, bahkan untuk kita pikirkan
Yang terpenting bagaimana membangun benteng dari tanah tipe C
Atau bagaimana konversi agama harus berhasil
Peradaban hanyalah sisa-sisa prasasti, seperti beliung persegi
Peradaban hanyalah milik masa lalu
Yang kini kita perjual-belikan.

(I.B. Arya Lawa Manuaba: Pertiwi)

Setelah tamat SMA, saya melanjutkan kuliah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Singaraja (IKIP Singaraja), yang mulai tanggal 26 Agustus 2006 lalu berubah status menjadi Universitas, dengan nama Universitas Pendidikan Ganesha (UNDIKSHA).
Singaraja adalah sebuah kota yang hangat di musim dingin bulan Juli – Agustus. Universitas Ganesha terletah 2 jam perjalanan naik motor dari rumah saya di tapal batas kota Denpasar, jadi mau tidak mau, saya harus kos.
Sebagai seorang remaja, saya menyukai tempat-tempat yang hening dan sepi. Entah mengapa, tapi boleh percaya atau tidak, ramalan hari kelahiran saya menunjukkan bahwa saya berpotensi menjadi seorang pertapa. Saya menyukai tempat-tempat keramat yang penuh dengan spirit ketuhanan dan vibrasi kesucian. Cita-cita saya sebelum mati hanya satu,— berkeliling pulau Bali dan sembahyang di setiap puranya. Saya akan mengumpulkan biaya untuk itu!
Sifat itu saya bawa ketika mencari kos. Sementara saya sibuk mendaftarkan diri sebagai calon mahasiswa, aji (panggilan untuk ayah) sibuk berkeliling kota Singaraja untuk mencarikan saya rumah kos. Hampir semua rumah kos yang kami kunjungi ramai, dan penuh sesak. Ditambah lagi suasana lingkungan yang rada kumuh. Akhirnya, aji mengajak saya ke sebuah rumah di seberang tempat aji kos 25 tahun silam. Rumah itu bertingkat dan suasananya sepi. Pemiliknya adalah seorang lelaki seusia aji dan istrinya seorang guru agama Hindu. Saya memutuskan tinggal di sana. Sayangnya, saya tinggal sendirian, tidak ada teman, namun tuan rumah memperlakukan saya seperti anak mereka sendiri. Saya senang tinggal di sana. Di lantai atas saya bisa meditasi kapan saja, karena udaranya sejuk dan berangin.
Suatu malam, seorang tetangga bertandang ke rumah kos saya. Ia pemilik rumah tempat aji kos 25 tahun silam, berseberangan dengan rumah kos saya sekarang. Ia membeli sesuatu di warung milik tuan rumah dan kami mengobrol bersama. Kebetulan saat itu saya sedang santai, karena bebas ospek Fakultas, lantaran saya mencalonkan diri sebagai peserta ramah tamah Mahasiswa Hindu.
Di sela obrolannya yang agak ngaco, ia menyinggung tentang agama. Soal 'pengalihnamaan Bali dari Pulau Seribu Pura menjadi Pulau Seribu Masjid' adalah soal yang ramai dibicarakan kaum intelektual Hindu dewasa ini. Bapak itu pun ternyata memerhatikan persoalan itu. Beberapa hari kemudian saya juga mendengar bahwa masjid terbesar di Asia akan dibangun di Seririt. Realita yang sepertinya tidak masuk akal, mengingat Bali adalah sentral umat Hindu di Nusantara.
Mendengar itu, saya jadi berpikir, mengapa umat Hindu masih saja terlena? Bali saat ini dalam situasi yang kritis, di mana benteng-benteng penjaganya telah mulai digempur dari dalam maupun luar. Tembok penjaga Bali adalah alam, manusia Bali sendiri, dan Agama Hindu. Kini tembok-tembok itu telah mulai runtuh. Benteng kuat yang memagari pulau Dewata ini dari serangan kekuatan asing, yang dibuat dengan inspirasi dan kekuatan leluhur kita yang adiluhung kini dengan sia-sia mulai jebol.
Benteng pertama yang mulai jebol adalah alam Bali. Marilah jangan hanya menyebut jumlah kerusakan akibat penebangan liar di Bali Barat, jangan hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tanah pertanian yang menjadi kavling, sawah menjadi kafe, atau tegalan menjadi ruko. Mata kita orang Bali telah menjadi hijau dengan gemerincing dolar yang masuk ribuan tiap hari. Turis-turis yang sebenarnya ingin menikmati nuansa alam yang asri dan jauh dari kebisingan, malah kembali bertemu hal yang sama dengan negara mereka di Bali,— rumah bertingkat, mobil, hotel berbintang, dan spa yang berserakan.
Kita orang Bali, secara tidak langsung telah menjadi buta. Kebutaan akibat tergiur akan dolar membuat kita tega menggadaikan Bali ini sendiri pada orang asing. Leluhur penanam batu pertama pembangunan di Bali telah merencanakan sistem pertanian Subak yang memukau, yang sudah pasti bisa menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat Bali ke depan. Sawah-sawah menghijau yang asri menarik minat siapa pun yang berkunjung ke Bali. Kesenian yang tiada duanya telah memberikan inspirasi bagi banyak orang. Leluhur kita menciptakan tari-tarian dan musik gambelan, sebagai hasil inspirasi dari suara-suara alam yang memberikan ide-ide luhur yang kini menjadi permata yang berharga bagi kita, bahkan teralu berharga.
Sayangnya, akibat terlalu terfokus pada sektor pariwisata, yang mendatangkan jauh lebih banyak keuntungan daripada sekedar mencangkul dan panen tiga bulan sekali, kita mulai melupakan sektor pertanian. Perlu diingat bahwa Agama Hindu, khususnya di Bali, tidak bisa lepas dari lingkungan. Banten dan sesajen yang kita persembahkan adalah hasil dari alam. Kini dengan mudahnya saja orang membeli banten, membeli janur hingga Banyuwangi. Bukankah hal itu sama saja memberikan pahala dua kali lipat bagi orang yang menjual banten? Si penjual banten membuatkan kita banten, artinya ialah yang mendapat pahala yadnya yang kita lakukan. Kedua, ia mendapatkan imbalan berupa uang dari kita. Lalu, apa yang kita dapatkan? Tak lain hanya surudan saja.
Jika janur sebagai bahan utama banten saja kita harus mengimpor, lalu apa andalan kita jika sewaktu-waktu pariwisata hancur? Katakanlah turis-turis asing bosan ke Bali karena situasinya sama saja dengan negara mereka, apa yang dapat menggantikan sektor pariwisata? Pertanian? Mungkinkah? Akan adakah lagi tanah milik kita yang tersisa di tanah kelahiran kita ini?
Saat ini pemerintah berkaor-kaor  pada warga agar mengaktifkan kembali sektor pertanian. Lalu, apakah masih mungkin hal ini diterapkan di kota besar seperti Denpasar? Seharusnya pemerintah sejak dahulu sudah sadar, bahwa pertanian masih sangat penting bagi kita. Seharusnya pemimpin kita sadar sebelum tanah-tanah pertanian kita jual pada orang asing, yang mana kita, sebagai penduduk asli berkaor-kaor menyatakan kembali pada pertanian sementara tanah kita ytelah dimiliki orang asing? Jadilah Bali sebagai negeri asing bagi orang Bali, karena tiada sejengkal tanahnya pun dimiliki lagi oleh orang Bali asli.
Saat ini Bali memerlukan seorang pemimpin yang tegas, yang mengerti dan paham akan kondisi Bali sebenarnya. Seorang pemimpin yang mencintai Bali sepenuh hatinya. Seorang inspirator bagi semua warga Bali, agar tidak menggadaikan tanah leluhurnya lagi. Maish belum terlambat bagi kita untuk sadar. Mari, hentikan penggadaian ibu pertiwi kita tercinta, demi ajegnya diri kita. Percuma Ajeg Bali, tapi tanah Bali dimiliki orang lain. Percuma Ajeg Bali, tapi pemimpinnya tidak tegas, walau hanya mengusir investor yang akan membangun proyek geothermal.
Bali adalah sebuah pulau kecil. Pulau yang di masa lalu menjadi tempat terakhir peradaban Hindu Jawa diselamatkan. Bali adalah sumber spirit Ketuhanan bagi dunia, di mana penduduknya, tradisinya, dan budayanya menjadi contoh bagi dunia, bahwa betapa sucinya perdamaian. Bali yang sudah kecil ini jangan lagi kita kotak-kotakkan. Mari bersatu, ajegkan Bali. Banyak permasalahan yang harus kita selesaikan demi tegaknya Bali beserta spirit kehinduannya. Jangan sampai kita orang Bali menjadi asing di negeri sendiri.

Semoga dunia sejahtera
Agar aku masih bisa bercerita tentang ajaibnya dewi Usa
Tentang murninya air naga Wasuki
Tentang sejuknya Taksaka yang mengudara tiap pagi
Tentang suburnya Anantabhoga menghidupi bumi
—pada anak-anakku, anak-anak mereka kelak
Agar ceritaku tak hanya jadi suratan sejarah di atas kertas
Dan melapuk bagai prasasti yang ditinggalkan pembuatnya.

(I.B. Arya Lawa Manuaba: Galungan)
© 2010 - 2024 photopocket
Comments0
Join the community to add your comment. Already a deviant? Log In